Senin, 02 Juni 2014

Peran kematian dalam kehidupan


Bayangkan kamu berada di tengah hutan rimba pada malam hari. Seorang diri, kamu tidak memiliki kemampuan apapun yang bisa menjadi bekal kamu untuk bertahan dalam hutan rimba itu. Padahal, kamu tahu bahwa di dalam hutan rimba itu banyak bahaya mengintai. Kamu mendengar lolongan serigala, desis ular, dan banyak suara-suara lain yang tidak kamu kenal. Belum lagi kamu tidak memiliki petunjuk jalan yang bisa diikuti. Belum sempat kamu berpikir, tiba-tiba terdengar suara langkah berat di kejauhan.
Pertanyaannya, apa yang kamu rasakan saat menemui situasi seperti itu?
Saat menemui peristiwa seperti itu dalam hidup, umumnya kita akan mengalami emosi (perasaan) yang disebut kecemasan eksistensial. Kecemasan eksistensial adalah perasaan yang dirasakan saat terjadi peristiwa yang mengancam keberadaan kita di dunia (May dalam Feist & Feist, 2009). Pada peristiwa diatas, umumnya kita akan merasa terancam karena tidak memiliki kepastian mengenai keselamatan kita. Dalam sekejap kita bisa saja diterkam seekor singa, lalu, BAM! Mati.
Afraid To Death
Puncak dari segala peristiwa yang paling mengancam kehidupan kita adalah kemungkinan berakhirnya kehidupan kita (atau pendeknya, kematian). Jika kasus diatas terasa asing bagi kamu, pikirkan kondisi di dalam hidup kamu yang berhubungan dengan rasa sakit yang besar atau mungkin pengalaman hampir menemui kematian. Biasanya, jika seseorang ditanya peristiwa apa yang tidak pernah bisa dilupakan dalam hidup, jawaban yang sering ditemui adalah peristiwa yang melibatkan rasa sakit yang besar atau pengalaman hampir menemui kematian (MacDonald & Leary, 2005).
Misalnya saja seseorang yang pernah tertabrak mobil tetapi selamat dari kecelakaan dan masih hidup, kemungkinan mengenang peristiwa itu sebagai peristiwa paling penting dalam hidupnya. Atau, saat ia melewati tempat yang beberapa menit kemudian menjadi lokasi bom teroris, walau tak menyaksikan secara langsung tapi pasti akan muncul ketakutan, “bagaimana andaikata tadi saya berangkat 10 menit lebih telat?” Ini menandakan bahwa pengalaman yang dekat dengan kematian begitu signifikannya dalam kehidupan seseorang.
Kecemasan terhadap kematian bahkan tidak hanya terjadi dalam situasi-situasi ekstrim. Saat kita berpikir bahwa suatu saat nanti kita akan mengalami kematian (meskipun tidak ada peristiwa saat itu yang mengancam), kita tetap bisa merasakan kecemasan eksistensial. Bayangkan kamu akan membeli rumah di kecamatan A yang dinilai aman atau rumah di kecamatan B yang pernah beberapa kali terjadi pencurian atau pembunuhan. Anggaplah harga kedua rumah sama. Kemungkinan besar kamu akan memilih rumah di kecamatan A. Ini disebabkan kamu mengalami kecemasan eksistensial mengenai apa yang mungkin saja terjadi di kecamatan B.
Terkait kecemasan akan kematian, Solomon, Greenberg, & Pyszczynski (1998) menyatakan bahwa untuk mengurangi kecemasan terhadap kematian, manusia memerlukan cara-cara untuk bertahan. Tanpa cara-cara untuk bertahan, hidup kita akan selalu diliputi teror karena berpikir suatu saat nanti kita akan mati. Adapun cara-cara untuk mengurangi kecemasan umumnya ditemui dalam pandangan hidup yang ada pada masyarakat kita. Pandangan hidup dalam masyarakat kita membantu untuk memberikan makna dan tujuan hidup di dunia. Pandangan hidup ini diantaranya:

1.Agama

Mencintai Hidup untuk dapat Menerima Kematian
Salah satu pandangan hidup yang sangat besar perannya dalam memberikan makna dan tujuan hidup adalah agama. Agama memberikan jawaban atas pertanyaan “apa yang akan terjadi setelah kita mati?”(Solomon, Greenberg, & Pyszczynski, 1998).Pada agama-agama Abrahamik seperti Islam dan Nasrani, kematian hanyalah jalan menuju kehidupan abadi. Pada agama Buddha, kematian hanyalah pintu menuju kehidupan lain atau disebut reinkarnasi.
Untuk mencapai kehidupan yang abadi itu, manusia harus melakukan kebaikan di dunia. Inilah yang menjadi makna dari hidup menurut agama. Bagi agama, hidup memiliki makna untuk mencapai kehidupan yang abadi dan hal ini diperoleh lewat pertolongan Tuhan atau kekuatan supernatural lainnya. Kematian tidak perlu dicemaskan oleh manusia asal manusia selama hidupnya berbuat kebaikan yang diperintahkan Tuhan dan agama.

2.Uang

Mencintai Hidup untuk dapat Menerima Kematian
Ternyata, selain memiliki fungsi sebagai alat tukar barang, uang juga memiliki efek psikologis, salah satunya untuk mengurangi kecemasan kematian (Zaleskiewicz dkk., 2013). Bagaimana bisa?
Uang seringkali dijadikan tujuan hidup seseorang. Tidak jarang kita mendengar seseorang yang punya tujuan hidup untuk mengumpulkan uang atau sekedar ingin membeli barang-barang yang ia inginkan. Bahkan, saat seseorang telah dinilai memiliki kekayaan berlimpah dan mampu membeli semua barang yang diinginkan, ia tetap membutuhkan uang lebih banyak.
Dalam hal ini, uang berfungsi sebagai simbol untuk memuaskan rasa berharga seseorang. Dengan uang, seseorang bisa terlihat lebih memiliki kekuatan, lebih dihormati oleh banyak orang, lebih memiliki status sosial yang tinggi, dan lain-lain. Ini membuat mereka merasa bahwa hidup punya tujuan yang penting, yaitu memperoleh kekayaan.
Lebih penting lagi, orang-orang yang memiliki banyak uang akan jauh lebih terhindar dari kematian (karena memiliki uang lebih, mereka bisa mendapatkan akses kesehatan yang lebih baik). Bagi mereka, kematian tidak membawa kecemasan yang sebegitu besarnya dibandingkan orang-orang yang tidak memiliki uang sama sekali.

3.Hubungan kita dengan orang lain

Mencintai Hidup untuk dapat Menerima Kematian
Hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita juga bisa mengurangi kecemasan akan kematian (Florian, Mikulincer, & Hirschberger, 2002). Saya akan menggambarkan peran orangtua, pasangan, sahabat, keturunan, dan lain-lain dalam menghadapi kecemasan kematian melalui sebuah contoh berikut.
Serafina mengidap sakit yang sangat parah. Dokter menyatakan hidup Serafina tidak akan lama lagi. Berhari-hari Serafina meratapi kehidupannya. Ia sangat cemas dengan kematian yang akan segera dialaminya. Namun, sahabat-sahabat Serafina tidak membiarkan Serafina larut dalam kesedihan. Mereka mendatangi Serafina dan mengajak Serafina untuk melakukan berbagai macam hal yang selama ini tidak pernah bisa dilakukan Serafina. Bersama-sama, mereka melakukan hal-hal yang menggembirakan. Serafina bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada di sampingnya sampai waktu kematiannya.
Dalam contoh diatas, sahabat-sahabat Serafina mampu membuat Serafina melupakan kecemasannya akan kematian. Serafina tahu, meskipun ia akan mati, namun ia memiliki orang-orang yang terus menemaninya sampai akhir hayatnya. Contoh lainnya adalah orang tua yang bertahan dari sakit karena ingin melihat cucu yang sedang dikandung anaknya.

4.Menemukan makna hidup sendiri

Mencintai Hidup untuk dapat Menerima Kematian
Tokoh-tokoh eksistensialis seperti Albert Camus dan Jean-Paul Sartre beranggapan bahwa jika seseorang ingin menjalani hidup secara maksimal, mereka perlu menghadapi rasa takut akan kematian. Manusia harus menghadapi kenyataan bahwa kematian adalah peristiwa yang tidak bisa dihindari meskipun ini menyebabkan kecemasan pada dirinya. Apa artinya hidup jika ujung-ujungnya harus mati juga? Tapi kematian berfungsi untuk memberikan kesadaran bahwa kehidupan saat ini perlu dijalani sepenuh hati. Lagipula, apa artinya hidup abadi jika kita tidak mencintai kehidupan itu sendiri?
Untuk mencintai hidup sepenuh hati, diperlukan makna hidup yang unik bagi setiap orang. Seseorang perlu menemukan makna hidupnya sendiri karena apa yang penting dan bermakna bagi seseorang mungkin berbeda dengan apa yang penting dan bermakna bagi orang lain.
Setelah membaca cara-cara yang digunakan untuk mengurangi kecemasan akan kematian, sekarang coba refleksikan. Cara mana yang kita gunakan? Jawaban tiap-tiap orang pasti akan berbeda dan ini merupakan hal yang wajar karena apa yang bermakna dan dijadikan tujuan hidup bagi setiap orang memang berbeda-beda.
Untuk bacaan lebih lanjut, kalian bisa membuka artikel-artikel yang saya cantumkan di bawah ini.Kalian juga bisa browsing terkait topik-topik seperti terror management theory (TMT) dan filsafat eksistensialisme.
Feist, J., & Feist, G.J. (2009).Theories of personality, 7th Ed. USA: McGraw-Hill.
Florian, V., Mikulincer, M.,& Hirschberger, G.(2002).The Anxiety-Buffering Function of Close Relationships: Evidence That Relationship Commitment Acts as a Terror Management Mechanism. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 4: 527–542.
MacDonald, G., & Leary, M.R. (2005). Why does social exclusion hurt? The relationship between social and physical pain.Psychological Bulletin, 131: 202-223.
Solomon, S., Greenberg, J., & Pyszczynski, T. (1998). Tales from the crypt: On the role of death in life. Zygon, 33, 1.
Zaleskiewicz, T., Gasiorowska, A., Kesebir, P., Lusczynska, A., &Pyszczynski, T. (2013).Money and the fear of death: The symbolic power of moneyas an existential anxiety buffer. Journal of Economic Psychology, 36: 55–67.

0 komentar:

Posting Komentar